“Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.”—Buya Hamka
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan manusia akan dapat berjalan baik jika setiap orang mau bekerja. Dengan bekerja, seseorang akan menguatkan tali antara kepentingan individu, kepentingan sosial, serta kepentingan kehidupan yang lebih luas lagi. Dalam Islam, bekerja bukan sekadar untuk mendapatkan materi, tetapi bekerja merupakan aktivitas yang mulia. Dengan bekerja, seseorang akan mendapatkan jalan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah SWT yang berkaitan dengan finasial, seperti zakat, infak, dan sedekah.
Jika kita ditanya, apa arti “bekerja” bagi kita? Apakah kita menjawab bahwa bekerja adalah jalan untuk mencari uang? Mencari kebahagiaan? Sekadar mencari kesibukan? untuk membangun kepercayaan diri? Atau untuk ibadah?
Bekerja adalah untuk mendapatkan materi untuk memenuhi kebutuhan kita, namun jangan dilupa, manusia dan makhluk lainnya memang bekerja, tapi Allah SWT-lah yang mempunyai kekuasaan untuk mencurahkan rezeki dan keberkahan. Coba kita lihat dan renungkan, matahari dengan cahayanya bekerja menyinari bumi, membantu seluruh makhluk untuk hidup dan menghidupi dirinya. Hujan bekerja membasahi bumi, lalu pohon-pohon tumbuh, pohon-pohon ini pun bekerja keras menghasilkan buah-buahan untuk dimakan oleh manusia, begitu seterusnya. Seluruh keteraturan itu tentunya berasal dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Memberi. Dia-lah yang senantiasa memberi percikan cahaya dan kehidupan bagi entitas-entitas yang gelap, dan memelihara serta membesarkan seluruh makhluk untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tak berujung.
Selain untuk mengharapkan rezeki dari Allah SWT, bekerja juga adalah sebuah citra diri. Dengan bekerja, seseorang dapat membangun kepercayaan diri. Seorang yang bekerja akan berbeda dengan seorang yang tidak bekerja. Dengan bekerja seseorang akan merasa terhormat karena mampu bertahan hidup dengan hasil tangannya sendiri.
Bekerja merupakan salah satu jembatan menuju akhirat. Karena itu, bekerja bukan semata-mata mencari penghidupan dunia. Cara kerja kita akan menentukan, apakah jalan yang halal atau haram yang kita pilih. Karenanya, setiap langkah kita akan dimintai pertanggungjawabanya di hadapan Allah SWT.
Bekerja selayaknya diniatkan untuk mencari nafkah yang halal bagi keluarga dan dilandasi semangat ibadah kepada Allah SWT. Kehalalan kerja menjadi perhatian utama dalam setiap aktivitas karena akan mengantarkan manusia pada penerimaan terbaik di sisi Allah SWT. Halal adalah kunci utama pembuka rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Halal juga merupakan modal untuk mendapatkan rezeki yang penuh berkah.
Bekerja dengan niat menjalankan ibadah akan membuat seseorang memiliki dua tambang. Pertama, bekerja akan membuahkan keberkahan di dunia, harkat seseorang akan terangkat, dan hidup dengan kebahagiaan. Kedua, bekerja akan menghasilkan harta yang dapat kita gunakan untuk membantu orang lain, bersedekah, menunaikan zakat, berkurban, semuanya itu adalah ladang pahala yang kelak akan menyelamatkan seseorang di akhirat. Maka, bekerjalah dengan Nama Allah SWT Sang Pemberi Rezeki, karena dengan begitu seluruh pekerjaan yang kita lakukan akan dicatat oleh-Nya sebagai amal ibadah yang akan menyelamatkan kita kelak.
Bekerja adalah aktualisasi seorang manusia yang tak hanya dibekali nafsu namun juga akal. Sebagai ‘hewan’ yang berakal (al-hayawanun-natiq) manusia harus menjadikan apa yang ia kerjakan dalam pekerjaannya menjadi manfaat untuk dirinya dan orang lain, baik di dunia maupun di akhirat.
Bekerja dengan giat memang penting, namun terkadang pekerjaan yang banyak menyita waktu kita kerap melenakan kita. Kita menjadi lupa bersyukur kepada Sang Pemberi rezeki. Waktu kita menjadi begitu terbatas sehingga kita melupakan pekerjaan utama kita yang sesungguhnya yaitu menyembah Allah SWT. ”Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat [51]: 56).
Sungguh rugi seseorang jika ia hanya bekerja keras untuk dunianya sedangkan untuk ladang akhiratnya ia tinggalkan bahkan ia lupakan. Ibadah shalat yang hanya lima waktu dalam sehari saja tidak dapat ia laksanakan. Padahal ibadah shalat adalah salah satu cara untuk mensyukuri segala nikmat rezeki yang kita dapatkan. Allah SWT mengancam dengan tegas orang-orang yang terlalu mengutamakan urusan dunia dan melalaikan urusan akhirat. “Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at [79]: 37-39).
Sayang rasanya jika apa yang kita kerjakan selama ini hanyalah sebuah kesia-siaan yang sama sekali tidak dapat dibawa ke alam akhirat. Padahal yang kita bawa ketika roh kita lepas dari raga adalah amal ibadah kita, bukan harta dunia yang fana.
Jika kita bekerja terus bekerja tanpa diniatkan untuk ibadah bahkan melupakan kewajiban kita untuk bersyukur dengan melaksanakan ibadah lainnya, lalu apa bedanya kita dengan binatang yang tak berakal?
Coba renungkan ini: Manusia sama saja dengan binatang selalu perlu makan. Namun caranya berbeda dalam memperoleh makanan. Binatang tak mempunyai akal dan pikiran, segala cara halalkan demi perut kenyang. Binatang tak pernah tahu rasa belas kasihan, padahal di sekitarnya tertatih berjalan pincang. (Opiniku, Iwan Fals)
—Hijrah Saputra