Sebagai sebuah ibadah, puasa sangatlah “unik”. Tidak sekadar ruang “komunikasi” makhluk kepada Tuhannya, tidak sekadar ruang kontemplasi dalam mensyukuri hidup, puasa juga melatih seseorang untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya, dan juga dapat mengatur dinamika kehidupan sosialnya.
Ibadah puasa bukanlah ritual para petapa yang tidak makan dan minum dengan mengasingkan diri ke hutan-hutan, ke gunung-gunung, dan menyingkir dari khalayak ramai. Orang yang berpuasa adalah mereka yang menahan makan dan minum serta segala hal yang dapat membatalkannya, namun tetap berada dan menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat sekitarnya.
Datangnya bulan suci Ramadan telah merubah seluruh ritme kehidupan umat Islam, perubahan ritme ini tidak hanya terjadi dalam rutinitas ibadah, akan tetapi juga dalam dinamikan kehidupan sosial. Di bulan ini semua orang saling berlomba-lomba meningkatkan kualitas ibadahnya, berlomba-lomba memberi makan fakir miskin, bersedekah dan mengundang orang-orang untuk berbuka puasa bersama. Inilah rutinitas puasa yang kita jalankan dari tahun ke tahun. Pertanyaannya adalah, apakah rutinitas ini terus berlanjut pada bulan-bulan selanjutnya?
Bulan Ramadan hendaknya tidak hanya menjadi bulan untuk melakukan introspeksi dan koreksi terhadap segala perilakunya, baik secara personal maupun sosial. Akan tetap juga menjadi bulan untuk menyiapkan mental dan konsistensi untuk menghadapi bulan-bulan selain bulan Ramadan.
Puasa sejatinya harus dijalankan secara mendalam. Bukan ibadah yang bersifat ektrinsik (tidak menyentuh inti) atau ibadah yang hanya menyentuh kulit permukaan sehingga makna di balik ritual tersebut belum dapat kita jabarkan dalam segenap aktivitas kehidupan.
Puasa hendaknya dimaknai sebagai media penyadaran menuju ketakwaan, bukan hanya terbatas pada formalitas simbolis dan tidak berlanjut pada penyelaman makna hakiki di balik simbol-simbol tersebut. Rasulullah SAW bersabda yang intinya adalah banyak sekali orang yang berpuasa yang hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga, sedangkan secara esensi dan sisi spiritual, seseorang tersebut tidak mendapatkan apa-apa, hatinya kosong, jiwanya hampa.”
Puasa hendaknya dijadikan momentum untuk pencarian terhadap makna hakiki dengan menyebrangi simbol-simbol keagamaan. Kemampuan untuk menyeberangi makna simbolis keagamaan akan menumbuhkan sikap religius individu dan masyarakat yang sejalan dengan maksud ajaran Islam. Kesadaran ini selanjutnya akan mengantarkan seseorang pada peningkatan kualitas, baik secara vertikal (hablum minannâs) maupun horizontal (hablum minallâh). Dengan demikian, puasa akan menjadi titik awal terjadinya tranformasi secara pribadi maupun kolektif.
Bila seseorang telah mampu memahami esensi spiritual yang terkandung dalam ibadah puasa, dan merasakan betapa indahnya ibadah tersebut, maka sejatinya ia telah mampu”berdialog” dengan Tuhannya. Orang tersebut secara perlahan akan membentuk karakternya sebagai manusia yang berkualitas, karakter manusia yang peka terhadap masalah-masalah sosial, dan karakter manusia yang senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Rasa takut terhadap segala hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT akan selalu tertanam di dalam dada orang ini, sebab ia memiliki kesadaran bahwa dirinya akan selalu dipandang oleh Allah SWT. (Wallâhu a’lam bishawab)—Hijrah Saputra